Rabu, 04 Juli 2012

Kisah sikap hati hati orang sholeh terdahului dalam berbuat

Hammad bin Zaid berkisah : “Ketika aku bersama Ayahku, aku mengambil secuil pecahan bata dari tembok. Ayahku menegurku: “Kenapa kamu ambil?” Aku menjawab, “Ini hanya secuil tembok” Ayahku berkata: “Jika setiap orang mengambil secuil demi secuil, apakah akan tersisa tembok pada dinding ini..” Ini hanya satu kisah sikap wara’ (kehati-hatian) seorang Salafus Soleh (orang-orang soleh terdahulu, yang hidup di zaman Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wasalam dan beberapa generasi sesudah wafatnya beliau). Perjalanan hidup mereka dipenuhi semerbak tetesan wewangian dalam gambaran menarik pada kewara’an dan jauhnya mereka dari perkara samar (yang kurang jelas hukumnya). Marilah lebih jauh kita selami berbagai kisah sikap wara’ pada salafus solihin lainnya. Sungguh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam merupakan penghulu dari orang-orang wara’ dan merupakan suri teladan umat, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik..” (QS.al-Ahzab: 21) Apa Yang Dimaksud Dengan Wara’ ? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda : “Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari An-Nu’man bin Basyir radiyallahu anhu) Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir c di atas. Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah: “Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat.” (2) Wara’ bermakna juga menjaga diri yaitu menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya (Ibnu Faris) Wara’ artinya merasa risih (jawa=pekewuh), orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih, menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Menahan diri walaupun mubah (yang dibolehkan) dan halal (Ibu Manzhur) Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara samar (yang kurang jelas). Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan. Wara berarti keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan. (Ibrohim bin Adham) Wara’ maknanya menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang menggembala di sekitar pagar, tidak ayal akan mudah tergoda untuk masuk kedalamnya. (Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya) Orang yang wara’ adalah orang yang jika mendapati perkara samar (yang kurang jelas), segera meninggalkannya, sekalipun dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar dalam wajibnya suatu perkara, segera dia mengerjakannya karena khawatir berdosa jika meninggalkannya. (Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- ) Perbedaan Antara Zuhud dan Wara’ Syaikh al-Islam Ibnu Taymiah -rahimahullah – berkata : Aku telah menulis hadits-hadits yang merinci persamaan antara zuhud dan wara. Bahwa zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Bisa karena memang perkara itu tidak ada manfaatnya sama sekali, sisi kemanfaatnya lemah sementara ada perkara lain yang lebih bermanfaat atau terkandung efek buruk yang lebih besar dari manfaatnya. Jika kemanfaatannya utuh (sudah jelas, red), sedangkan ia tetap bersikap zuhud pada perkara itu adalah suatu kedunguan. Adapun pengertian wara’ adalah menahan diri dari apa-apa yang berpotensi akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Jika ada sesuatu yang tidak ada atau seimbang antara manfaat atau mudaratnya (efek buruknya) maka perkara itu tidak layak untuk diharap atau dibenci, yang layak adalah sikap zuhud, bukan wara. (1) Beberapa Kisah Teladan Salafusoleh Dalam Wara’ Dan Jauhnya Mereka Dari Perkara Haram Dan Samar (1) Ketahuilah bahwa salafussoleh (ummat soleh di zaman masa kehidupan dan beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam) selalu mendidik diri, keluarga dan lingkungan mereka untuk bersifat dengan akhlak yang mulia ini, yaitu sifat Wara’. Sikap Wara’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam Penghulu orang-orang orang wara dan pendidik, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam ketika melihat al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, putra dari putrinya, Fatimah, mengambil kurma sedekah dan memasukkan ke mulutnya, berkata kepadanya: “Kihhk, kihhk!” Perintah untuk memuntahkannya. Kemudian berkata: “Apakah engkau tidak sadar bahwa kita tidak memakan sedekah.” (Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan keluarganya diharamkan menerima sedekah, red) Anas radiyallahu anhu berkata: “Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam melintasi suatu jalan Ia melihat kurma. Beliaupun berkata: “Sekiranya aku tidak khawatir ia berasal dari sedekah niscaya aku memakannya.” Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, beliau berkata: “Ketika aku berbaring di rumahku, aku dapati sebutir kurma jatuh dari tempat tidur. Akupun mengambilnya untuk memakannya. Tapi karena khawatir ia berasal dari sedekah, maka akupun mengurungkannya.” Dari Amr bin Syu’aib, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (ketika terjaga) dari tidur mendapatkan kurma disampingnya. Beliaupun mengambil dan memakannya. Tetapi kemudian di akhir malam beliau mengerang sehingga membuat istri beliau terkejut. Beliau berkata: “Aku menemukan kurma disampingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan kurma sedekah.” Sikap Wara’ Abu Bakar as-Siddiik radiyallahu anhu. Orang terbaik umat ini, pengganti Rasulullah dan yang menemani Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam di goa, sahabat karib Nabi, mentrinya yang setia, Abdullah bin Abu Kuhafah Utsman al-Qurasy at-Tamimy . Aisyah radiyallahu anha berkata: “Abu bakar memiliki seorang budak yang bertugas mengumpulkan keuntungan dari usaha-usaha bagi hasilnya. Dari hasil itulah Abu Bakar makan. Pada suatu kali budak itu datang membawa makanan dan Abu Bakar pun memakannya. Berkatalah budak itu kepada Abu Bakar: “Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan itu?” “Apa ini?” Tanya Abu Bakar. “Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi paranormal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, selain membodohinya. Diapun memberiku imbalan. Yang sedang engkau makan adalah termasuk hasil darinya.” Segera Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan memuntahkan segala yang telah masuk perutnya.” Sikap Wara’ Umar Ibnu al-Khathab radiyallahu anhu Dia berkun-yah Abu Hafs al-’Adawy. Gelarnya al-Faaruq, menteri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Yang menguatkan Islam dan menaklukkan negeri-negeri. Dia juga digelari as-Soodiq (yang jujur). Perkataannya mengandung ilham. Yang dikatakan oleh Nabi: “Seandainya setelahku ada nabi, Umar orangnya.” Setan lari menghindar darinya. Dan dia adalah orang yang tinggi keimanannya. Dari Nafi, bahwa Umar bin al-Khathab radiyallahu anhu membagi hasil harta rampasan perang untuk kaum Muhajirin generasi pertama sebesar 4000 dirham setiap orangnya. Sedangkan untuk Ibnu Umar (putranya sendiri) hanya 3500 dirham. Sehingga ada yang berkomentar: “Dia juga termasuk Muhajirin, kenapa kurang dari 4000.” “Sesungguhnya yang berhijrah adalah kedua orang tuanya, itu tidak seperti berhijrah sendiri (tanpa pendamping orang tua, red).” Jawab Umar. Dalam riwayat lain, Ismail bin Muhammad bin Saad bin Abi Waqas berkata: “Dikirimkan kepada Umar minyak misk dan anbar dari Bahrain. Umar berkata: “Demi Allah, seandainya ada wanita yang pandai menakar untuk menakarkan minyak ini sehingga dapat aku bagi-bagikan kepada kaum muslimin.” Maka istrinya, Atikah binti Zait bin Amr bin Nafil berkata: “Aku pandai menakar, mari aku takarkan untukmu.” “Tidak!” Sahut Umar. “Kenapa?” Tanya istrinya. “Aku khawatir kamu mengambilnya begini dan melakukannya begini –seraya memasukan jarinya ke sela-sela rambut di atas telinganya-, kemudian engkau mengusapkannya kelehermu, sehingga kamu mendapatkan lebihan dari hak kaum muslimin.” Jawab Umar. (dalam riwayat lain). Dalam riwayat lain, Abdullah bin Muadz al-Anbari berkata: Naim berkata kepadaku dari (sahabiah) al-Athaarah katanya: “Umar pernah menyerahkan minyak wangi kaum muslimin kepada istrinya untuk dijualkan, agar hasil penjualannya dapat dibagikan kepada kaum muslimin. Istrinya menjualnya kepadaku. Ia menakar dengan cara menambahi atau mengurangi serta memecah gumpalan dengan giginya. (tak ayal) ada bagian yang menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk membasahinya) lalu mengusapkannya ke kerudungnya. Ketika Umar datang, dia bertanya: “Bau apa ini?” Istrinya mengabarkan apa yang berlangsung. Umar berang: “Engkau mengambil minyak kaum muslimin dan memakainya!” Umar melepas kerudung istrinya kemudian mengambil air dan menyiramkan ke kerudung itu sambil menggosok-gosokan ke tanah, kemudian menciumi baunya, lalu menyiramnya lagi dengan air sambil mengosok-gosokkan ke tanah, kemudian menciumi baunya dan mengulanginya lagi sebanyak yang Allah kehendaki. Al-Athaarah melanjutkan: “Dikesempatan lain aku mendatanginya lagi (untuk membeli minyak). Ketika dia menakarkan untukku, sesuatu dari minyak wangi kembali menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk dibasahi) lalu mengusapkannya ke tanah. Akupun berkata: “Dulu engkau tidak melakukan seperti ini?” Istri umar menjawab: “Apakah engkau lupa dengan apa yang dilakukan Umar? Aku mendapatkan begini dan begini.” Dalam riwayat lain dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ashim bin Umar dari Umar, dia (Umar radiyallahu anhu, red) berkata: “Tidak halal bagiku makan dari harta kalian selain sebagaimana aku memakannya dari pokok hartaku; roti dengan minyak atau roti dengan mentega.” Terkadang bila didatangkan keju yang dibuat dari minyak atau mentega dia meminta izin kepada kaum muslimin dengan berkata: aku adalah orang arab tidak dapat terus menerus memakan minyak.” Dalam riwayat lain Qotadah berkata: “Dahulu aku menjadi penanggung jawab baitul mal di masa pemerintahan Umar. Ketika menyapu baitul mal, kudapati sekeping dirham. Akupun memberikannya kepada Ibnu Umar (putra umar), lalu pulang. Tetapi kemudian datang utusan Umar memanggilku. Ketika tiba, sekeping dirham itu sudah berada ditangan Umar. Umar berkata kepadaku: “Celaka engkau, apakah ada sesuatu atasku dalam dirimu?! ada masalah apa antara aku dan engkau?! “Ada apa amirul mukminin?” Tanya Qatadah. “Apakah engkau ingin umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam menuntutku (di akhirat) karena sekeping dirham ini?! Tegas Umar. Kisah Wara’ Utsman bin Affan radiyallahu anhu. Dia adalah Abu Amar al-Umawi. Bergelar Zuu an-Nurain (pemilik dua cahaya –maksudnya yang menikahi dua putri Nabi-). Malaikat malu kepadanya. Dia yang mengumpulkan umat pada satu mushaf setelah berselisih. Yang menaklukan Khurasan dan Magrib. Termasuk dari generasi awal lagi jujur. Senantiasa menegakkan solat malam dan berpuasa. Yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan yang dipersaksikan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. Dia dinikahkan dengan dua putri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. semoga Allah meridhoi semuanya. Mereka yang memperhatikan saat peristiwa pengumpulan Al-Qur’an, akan tahu kedudukan dan kemuliaannya. Dari Syarhabil bin Muslim bahwa Utsman menjamu orang-orang dengan makanan bangsawan, sementara dia sendiri masuk rumahnya dan makan (roti) campur zuka dan minyak. Kisah Wara’ Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu Kun-yah nya adalah Abu al-Hasan al-Haasyimiy, dikenal sebagai hakim ummat. Bergelar Farisul Islam (penunggang kuda Islam). Menantu Rosulullah. Termasuk yang dahulu masuk Islam. Tidak pernah gagap dalam bicara. Yang berjihad di jalan Allah dengan kesungguhan. Yang bangkit dengan ilmu dan amal. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mempersaksikannya sebagai penghuni surga. Nabi berkata: “Siapa yang aku sebagai pelindung/pemimpinnya, maka Ali adalah pelindung/pemimpinnya.” Dan sabdanya: “Engkau bagiku seperti posisi Nabi Harun pada Nabi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku.” Sabdanya yang lain: “Tidak ada yang mencintaimu kecuali dia itu seorang mukmin, dan tidak ada yang membencimu melainkan dia itu munafik.” Dari Abdullah bin Umair, dari seseorang yang berasal dari Tsaqif menceritakan bahwa Ali radiyallahu anhu menugaskan Abdullah bin Umair memimpin daerah Akbari, bagian wilayah Kufah. Ali berkata kepadanya: “Shalatlah zuhur di tempatku.” “Akupun mendatanginya karena tidak ada alasan bagiku untuk tidak mendatanginya. Ketika sampai, aku dapati padanya ada cawan berisi air dan cangkir. Lalu dia meminta dibawakan bathiah (mangkuk) , membuka tutupnya dan makan dengan rebusan air kacang. Maka akupun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Irak padahal Irak memiliki makanan yang lebih dari ini.” Dia berkata: “Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal ini karena bakhil terhadap makanan, dan engkau tahu bahwa tidak ada yang lebih menjaga milikku daripada aku. Aku tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki. Dan aku tidak suka memasukkan sesuatu ke dalam perutku kecuali yang baik. Dalam riwayat lain dikatakan oleh Umul Walad milik Ali radiyallahu anhu, dia berkata: “Pada suatu hari aku mendatangi Ali. Di hadapannya ada kurunful maksuf (seikat ranting semacam batang sirih yang berbau wangi, biasanya digunakan pada masakan). Akupun berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, berikan seutas qurunful itu untuk putriku! Ali menjawab: “Beri aku sekeping dirham! -seraya menjulurkan tangannya-. Sesungguhnya ini adalah harta kaum muslimin; bersabarlah sampai kuterima gajiku, maka akan aku berikan kepadamu.”. Ali enggan memberiku sedikitpun darinya.” Dalam riwayat lain, Abu Shaleh al-Hanafi berkata: “Aku mendatangi Ummu Kultsum (putri Ali radiyallahu anhu).” Ketika sampai Ummu Kultsum berkata: “Jamulah Abu Shaleh!.” Abu Shaleh diberi kari yang berisi kacang. “Kalian memberiku ini padahal kalian adalah penguasa.” Komentar Abu Shaleh. “Bagaimana jika engkau melihat Amirul Mukminin, Ali ketika diberi buah utruj Hasan atau Husain memintanya untuk anak-anak mereka, tetapi Ali enggan memberikannya dan memilih membagikannya kepada kaum muslimin. Jawab Ummu Kultsum. Kisah Wara’ Salman al-Farisi radiyallahu anhu Dari al-Hasan, katanya: “Gaji Salman al-Farisi 5000 dirham sebagai pejabat daerah Zuha yang berpenduduk 30 ribu kaum muslimin. Bila berceramah kepada manusia dia mengenakan jubah yang sekaligus digunakan separuhnya untuk alas duduknya. Jika tiba gajinya dia tidak mengambilnya. Dia makan hanya dari hasil kerja tangannya. Kisah Wara’ Abu Darda radiyallahu anhu Dari Muawiah bin Qurroh dia berkata: “Abu Darda memiliki onta yang dipanggil ad-Damun. Jika seseorang meminjam onta tersebut dia selalu berpesan: “Jangan dibebani kecuali sebatas kemampuannya.” Ketika mendekati kematian, Abu Darda berkata kepada ontanya: “Wahai Damun, janganlah engkau menuntutku (nanti di akhirat) di sisi Tuhan-ku, sungguh aku tidak pernah membebanimu kecuali sebatas yang engkau mampu.” Dalam riwayat lain dari Yahya bin Sa’id dia berkata: Jika Abu Darda menjadi penengah antara dua orang yang berselisih dan kedua orang yang bersengketa meninggalkannya setelah diputuskan, dia berkata kepada keduanya: “Kembalilah kepadaku, akan aku kaji ulang permasalahan kalian.” (karena khawatir seandainya da nasihatnya yang salah, red) Kisah Wara’ Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu anhu Ad-Dzahabi berkata: Abu Musa adalah sosok yang senantiasa melakukan shalat di tengah malam dan puasa di siang hari, taat kepada Allah, zuhud dan ahli ibadah. Terkumpul padanya ilmu, amal, jihad dan lapang dada. Dia tidak silau dengan kekuasaan dan tidak tenggelam oleh dunia. Dari Abu Amr as-Syaibâniy, dari Abu Musa al-Asy’ary radiyallahu anhu, dia berkata: “Memenuhi rongga hidungku dengan bau busuk lebih aku sukai dari pada memenuhinya dengan bau wanita”. (‘bau wanita’ maksudnya godaan wanita dan dunia. red) Kisah Wara’ Abu Bakroh radiyallahu anhu Hakam bin al-A’raj berkata: “Ada seseorang yang memiliki balok kayu. Ziyad (penguasa ketika itu) meminta kayu itu, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya. Ziyad pun mengambil paksa kayu itu lalu digunakannya untuk membuat atap masjid Basroh. Abu Bakroh tidak pernah shalat di masjid itu sampai kayu itu disingkirkan dari masjid. Kisah Wara’ Abdullah bin Yazid al-Anshari radiyallahu anhu Dari Manshur dan al-A’masy, dari Musa bin Abdullah bahwa ayahnya mengirim budak laki-lakinya untuk berniaga ke Asbahan bermodal 4.000 dirham hingga berkembang menjadi 16.000 dirham lebih. Namun kemudian sampai berita bahwa budaknya itu meninggal dunia, sehingga pergilah ia untuk mengambil harta niaga yang menjadi warisannya itu. Sesampainya di sana diberitakan kepadanya bahwa budaknya itu berniaga dengan cara riba. Maka diapun mengambil pokok modalnya yang 4.000 dirham dan meninggalkan selebihnya. Kisah Wara’ Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (putra Umar bin al-Khatthab) Thawus (seorang tabi’in) berkata: Aku tidak pernah bertemu seorang lelakipun yang lebih wara dari pada Ibnu Umar. Nafi berkata: Ketika Ibnu Umar mendengar suara seruling, dia menutup telinganya dengan kedua jarinya sambil menjauh dari jalan. Kemudian berkata: “Wahai Nafi’, apakah engkau masih mendengar sesuatu?” “Tidak” Jawabku. Diapun melepaskan jarinya dari telinganya sambil berkata: “Kami dahulu bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, lalu terdengar suara seperti tadi, beginilah yang dilakukan Nabi.” Dalam riwayat lain, masih dari Nafi’: Tidaklah Ibnu Umar takjub kepada sesuatu melainkan ia kemudian menyedekahkan hartanya lillah (untuk Allah). Bahkan terkadang bersedekah pada satu majelis dengan 30,000 dirham. Pernah Ibnu Umar memberi seorang budak yang bernama Ibnu Aamir sebesar 30,000 dirham dan berkata: “Wahai Naafi’, aku khawatir tergoda oleh dirham Ibnu Amir. Pergilah (kepadanya dan katakan), ‘Engkau telah dibebaskan (dari perbudakan).’ Dalam riwayat lain, Qoza’ah berkata : “Aku melihat Ibnu Umar memiliki baju yang berbahan kaku. Maka akupun menawarkan kepadanya pakaian yang berbahan lunak: “Aku bawakan untukmu pakaian yang berbahan lunak yang dibuat di Khurasan agar aku enak memandangmu” “Perlihatkan kepadaku! Pinta Ibnu Umar. Ibnu Umar meremas kain itu seraya bertanya: “Apakah ini sutra?” “Tidak, ia terbuat dari katun.” Jelasku. Ibnu Umar bekata: “Aku khawatir jika mengenakannya akan menjadikanku sombong dan tinggi hati, seraya membaca firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS.an-Nisaa: 36). Kisah Wara’ Al-Hasan dan al-Husain, putra Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Dari Abu al-Jahhaf dari seorang yang berasal dari Khas’am, dia berkata: “Aku mendatangi al-Hasan dan al-Husain. Ketika itu mereka sedang makan roti dengan cuka dan kacang. Akupun berkata kepada keduanya: “Kalian berdua adalah putra Amirul Mukminin (pemimpin kaum muslimin), tetapi mengapa memakan makanan seperti ini, dan kondisi saat ini dalam kelapangan.” “Kamu tidak banyak tahu tentang Amirul Mukminin. Kepemimpinannya untuk melayani kaum muslimin ” Jawab keduanya. Kisah Wara’ Abu Burdah -semoga Allah merahmatinya- Dari Abdullah bin Iyasy al-Qotbany, dari ayahnya, bahwa Yazid bin al-Muhallab ditugasi memimpin wilayah Khurasan. Dia berkata: “Tunjukkan kepadaku seseorang yang lengkap kebaikan pada dirinya.” Maka orang-orang pun menunjuk Abu Burdah. Ketika menemuinya dia dapati seorang yang berpenampilan menarik. Ketika diajaknya berbicara, didapatinya ternyata pembicaraannya lebih menarik dari penampilannya. Kemudian Yazid pun berkata: “Aku mengangkatmu untuk menjabat demikian dan demikian dari wilayah kepemimpinanku.” Tetapi dia meminta maaf dan menolak, seraya berkata: “Ayahku menceritakan bahwa Rasulallah bersabda: “Siapa yang mengambil tanggung jawab yang tidak mampu ditanggungnya, maka dia telah menempatkan tempat duduknya di neraka.” Kisah Wara’ Muwarriq al-Ijliy -semoga Allah merahmatinya- Dari Quraisy bin Hayyan al-Ijliy dari Maimunah binti Maz’ur, katanya: “Al-Muwarriq al-Ijliy mendatangi putranya yang bernama Soghdi. Anak itu memberinya sebutir telur yang direbus di wadah yang terbuat dari perak. Al-Muwarriq bertanya: “Dari mana kamu dapatkan wadah perak ini, wahai Soghdi?” “Itu adalah barang yang digadaikan kepadaku” Jawabnya. “Ambil kembali telurmu!” Dia menolak untuk memakannya dan tidak suka mengambil manfaat dari barang gadaian. Kisah Wara’ Urwah bin az-Zubair –semoga Allah merahmatinya- Putranya, Hisyam berkisah tentangnya: “Ayahku suka berlama-lama melakukan ibadah faridhah (wajib) dan berkata: “Ia adalah pokok harta.” Ahmad bin Haatim at-Thowil berkata: “Sampai berita kepadaku bahwa ketika kaki Urwah bin az-Zubair dipotong karena penyakit kusta dia berkata: “Sungguh yang membuat tenang hatiku dipisahkan denganmu (berujar kepada kakinya) bahwa aku tidak pernah membawamu ke tempat maksiat sama sekali.” Kisah Wara’ Muhammad bin Siirin -semoga Allah merahmatinya- Syu’bah berkata: “Ibnu Hubairoh memberi Muhammad bin Siiriin tiga pemberian, tetapi dia menolak menerimanya. Khalid bin Abi as-Solat berkata: “Aku berkata kepada Muhammad bin Sirrin: “Apa yang mencegahmu menerima pemberian Ibnu Hubairoh?” “Wahai hamba Allah, dia memberiku karena menduga aku baik. Jika aku seperti apa yang dia duga, maka aku tidak pantas menerimanya, sedangkan jika aku tidak seperti apa yang dia duga, maka aku tidak layak menerimanya. Hisyaam bin Hassan berkata: “(Ketika wafat) Muhammad bin Siiriin meninggalkan 40.000 dirham yang bagi orang pada saat itu terhitung banyak. Kisah Wara’ Hassan bin Abi Sinnan -semoga Allah merahmatinya- Dalam riwayat lain, Ibnu al-Mubarok berkata: “Seorang pekerja Hassan menulis surat kepadanya dari al-Ahwaaz (wilayah sekitar Iran) bahwa tanaman tebu terserang wabah (sehingga harga menjadi tinggi), maka hendaknya dia membeli gula diwilayahnya. Diapun membeli gula dari seseorang, tetapi itupun hanya dalam jumlah terbatas. Setelah diniagakan dia mendapat keuntungan sebesar 30.000 dirham. Tetapi kemudian Ibnu Abi Sinan mendatangi kembali si penjual gula (karena merasa tidak tenang) dan berkata: “Wahai kisanak, sebelum aku membeli gula darimu, pekerjaku telah memberitakan (kenaikan harga gula akibat perkebunan tebu terserang wabah) tetapi aku tidak mengabarkannya kepadamu. Sekarang aku kembalikan apa yang telah aku beli darimu dan keuntungannya.” Si penjual gula menjawab: “Engkau barusan telah mengabarkannya dan aku telah merelakannya.” Ibu Abi Sinanpun pulang, tetapi hatinya tetap tidak tentram. Diapun kembali lagi kepada si penjual gula: “Wahai kisanak, aku telah berniaga dengan cara tidak semestinya, aku lebih suka membatalkan jual beli ini. Ibnu Abi Sinan terus meminta kepada di penjual gula sampai berhasil mengembalikannya Kisah Wara’ Umar bin Abdul Aziz -semoga Allah merahmatinya- Abdullah bin Rasyid –penjual minyak wangi- berkata: “Aku mendatangi Umar bin Abdul Aziz dengan membawa minyak wangi yang dibuat untuk khalifah (penguasa) dari baitul mal. Diapun menutup hidungnya seraya berkata: “Yang berharga dari minyak ini adalah baunya.” (maksudnya, minyak wangi itu bukan hak nya sehingga ia tidak memiliki hak untuk mencium wanginya) Dalam riwayat lain, Furot bin Maslamah berkata: aku membacakan kitab-kitabku kepada Umar bin Abdul Aziz setiap hari jum’at. Ketika aku telah membacakannya, dia mengambil selembar kertas dari kitabku selebar empat jari tangan kemudian menulis keperluannya pada kertas itu. Akupun bergumam: “Amirul mukminin telah lupa.” Namun ternyata tanpa disangka, keesokan harinya ia mengutus seseorang agar aku datang kepadanya sambil membawa kitab-kitabku. Maka akupun mendatanginya sambil membawa kitab-kitabku. Sesampainya di sana, dia menugaskanku untuk pergi ke suatu tempat. Sekembalinya dari tugas itu dia berkata kepadaku: “Tidak cukup waktu kita sekarang untuk melihat kitab-kitab itu.” “Engkau telah melihatnya kemarin.” Timpalku. “Pulanglah! telah cukup aku menugasimu.” Kata Umar. Ketika aku buka kitabku, terselip selembar kertas kosong selebar apa yang telah diambil beliau kemarin (sebagai pengganti kertas yang tak sengaja beliau pakai kemarin). Dalam riwayat lain, Hammad bin Salamah berkata: Abu Sannan menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz biasa dipanaskan air untuknya dari dapur. Diapun bertanya kepada pengurus dapur: “Dimana air ini dipanaskan”. “Di dapur” Jawab pengurus dapur. “Hitunglah, sudah berapa lama engkau memanaskan air di dapur!” Perintah Umar. “Sejak waktu demikian dan demikian.” Terang pengurus dapur. “Hitung berapa nilai kayu bakar yang telah terpakai” Perintah Umar lagi. “Jumlahnya demikian dan demikian.” Terang pengurus dapur lagi. Maka Umarpun mengambil simpanan uangnya senilai yang disampaikan, dan memasukannya kebaitul mal. Dalam riwayat lain, Fatimah binti Abdul Malik berkata: “Suatu kali Umar sangat berselera kepada madu tetapi kami tidak memilikinya. Maka kamipun menugaskan pelayan pos dengan mengendarai tunggangannya ke Baklabak untuk membeli madu dengan membekalinya uang satu dinar, dan diapun mendapatkanya. Kemudian aku berkata kepada Umar: “Engkau menyebut-nyebut madu, aku memilikinya, apakah engkau mau? Kamipun memberinya madu dan ia meminumnya seraya bertanya: “Darimana kalian mendapatkan madu ini?” Kami menyuruh seorang pelayan pos (petugas yang digaji oleh negara untuk keperluan rakyat umum, red) pergi ke Baklabak dengan uang satu dinar menggunakan tunggangannya dan dia membelinya dari sana. Umar memanggil pelayan pos petugas pemerintah tersebut dan berkata: “Bawa madu ini ke pasar dan jual, lalu kembalikan harga pokoknya kepada kami, selebihnya gunakan untuk membiayai hewan tunggangan yang dipakai. Seandainya muntahan madu dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin niscaya aku akan memuntahkannya.” Dalam riwayat lain, Ibnu as-Samâk berkata: “Pernah Umar bin Abdul Aziz membagi-bagi apel kepada orang-orang. Kemudian datang putranya dan mengambil apel dari apel yang dibagi-bagikannya. Umar pun merenggut tangan putranya dan mengambil kembali apel tersebut lalu mengembalikannya bersama apel-apel lain. Putranya lalu mengadu kepada ibunya. Ibunya bertanya: “Ada apa denganmu, putraku?” Putranyapun menyampaikan apa yang terjadi. Maka istrinya memberi putranya uang dua dirham untuk membeli apel sehingga dia dan putranya dapat makan apel, lalu menyisakan lebihannya untuk Umar. Ketika Umar selesai dari pekerjaannya diapun masuk ke dalam rumah. Istrinya menyodorkan satu cawan apel kepadanya. Umar bertanya: “Dari mana kau dapatkan apel ini, wahai Fatimah?” Istrinya menyampaikan kisahnya. Umar senang dan berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Sungguh akupun sebenarnya berselera dengan apel tersebut.” Kisah Wara’ Yunus bin Ubaid -semoga Allah merahmatinya- Hammad bin Yazid berkata: “Bila Yunus meriwayatkan (menyampaikan) hadits Rasul, setelah penyampaiannya dia akan berkata: “Astaghfirullah (semoga Allah mengampuniku) 3x. Asma’i menceritakan dari Muamil bin Ismail, katanya: “Datang seseorang dari Syam ke pasar sutra dan berkata: “Apakah engkau memiliki kain seharga 400 dirham?” “Kami memiliki yang seharga 200 dirham” Jawab Yunus bin Ubaid. Bersamaan dengan itu terdengar suara adzan shalat sehingga Yunuspun pergi ke Bani Qusyair untuk shalat berjamaah di sana. Ketika kembali dari shalat, keponakannya telah menjual kain tersebut dengan harga 400 dirham. Diapun bertanya: “Dari mana uang ini?” “Itu hasil penjualan kain ” Jawab keponakannya. Yunus pun berkata kepada orang yang telah membeli kain itu: “Wahai hamba Allah, kain yang aku tawarkan itu harganya 200 dirham. Jika engkau suka ambillah dan ambil kembali kelebihan yang 200 dirham, jika tidak, maka tinggalkanlah.” Dalam riwayat lain, Amiyah bin Khalid berkata: “Seorang perempuan datang kepada Yunus membawa jubah sutra seraya berkata padanya: “Belilah ini!” “Berapa?” Tanya Yunus. “500 dirham” Jawab wanita itu. “Jubah ini harganya lebih dari itu” Yunus memberi penilaian. “600 dirham!” Wanita itu menambahkan. “Jubah ini harganya lebih dari itu” Komentar Yunus lagi, hingga akhirnya selesai ketika mencapai 1000 dirham. Dalam riwayat lain, Basyar bin al-Mufadhal berkata: “Datang seorang wanita menjual kain sutra kepada Yunus bin Ubaid. Yunus bertanya kepadanya: “Berapa engkau jual?” “60 dirham” Jawab wanita itu. Yunuspun memperlihatkan pakaian itu kepada penjual di sebelahnya seraya berkata: “Bagaimana penilaianmu?” “Itu harganya 120 dirham.” Penilaian penjual disebelahnya. “Aku rasa itulah harganya. Sekarang pulanglah dan mintalah izin dari keluargamu untuk menjualnya seharga 125 dirham.” Tambah Yunus. “Mereka telah memenyuruhku untuk menjualnya 60 dirham.” Tegas wanita itu. “Kembalilah kepada keluargamu dan mintalah izin untuk menjualnya seharga yang aku sebutkan.” Perintah Yunus. Dalam riwayat lain, Sa’id bin Amir ad-Dob’iy berkata: “Bercerita kepada kami Asma bin Ubaid, katanya: “Aku mendengar Yunus bin Ubaid berkata: “Tidak ada yang lebih mulia daripada dua hal: dirham yang halal dan seseorang yang beramal di atas Sunnah.” An-Nadhr bin Syamil berkata: “Jika harga sutra naik, maka Bashrahlah kota yang lebih dulu naik. Yunus bin Ubaid adalah saudagar sutra, dia mengetahui kenaikan harga itu. Ketika Ubaid membeli barang dagangan dari seorang rekanannya senilai 30,000 dirham, seusai transaksi Yunus bertanya kepada rekanannya itu: “Apakah engkau tahu kalau barang-barang ini harganya tinggi di kota ini dan itu? “Tidak, jika aku tahu mungkin aku tidak menjualnya” Jawab rekanannya itu. “Baiklah, kembalikan uangku dan ambil kembali barang daganganmu.” Minta Yunus. Rekanannya itupun mengembalikan uangnya dan mengambil kembali barang dagangannya. Kisah Wara’ Kahmas bin al-Hasan at-Tamimiy -semoga Allah merahmatinya- Amâroh bin Zâdzan berkata: “Berkata kepadaku Kahmas, Abu Abdullah: “Wahai abu Salamah, aku telah melakukan dosa yang membuatku menangis selama 40 tahun.” “Dosa apa itu, wahai abu Abdullah?” Tanya Abu Salamah. “Ketika saudaraku mengunjungiku, aku membelikannya ikan seharga satu danik . Seusai makan aku berdiri menuju dinding rumah tetanggaku yang terbuat dari tanah dan mengambil cuilan dinding itu untuk membasuh tanganku. Itulah yang membuatku senantiasa menangis selama 40 tahun.” Dalam riwayat lain, Muammal berkata: “Sahabat kami menceritakan kepada kami bahwa sekeping dinar pernah jatuh dari tangan Kahmas dan diapun mencarinya. Ada yang bertanya kepadanya: “Apa yang engkau cari wahai Abu Abdallah?” “Sekeping dinarku terjatuh.” Jawabnya. Maka orang-orangpun mengambil garuk dan mulai menggaruki tanah hingga menemukan sekeping dinar. Tetapi kemudian Kahmas menolak mengambilnya dan berkata: “Mungkin saja itu bukan dinar milikku.” Kisah Wara’ Hammad bin Abu Hanifah -semoga Allah merahmatinya- Ad-Dzahabi di dalam biografi Abu Hanif menyampaikan: “Al-Faqih Hammad bin Abu Hanif adalah orang yang alim, kuat agamanya, soleh dan sempurna kewara’annya. Ketika ayahnya wafat, banyak meninggalkan titipan-titipan barang milik orang lain di rumahnya, sedangkan pemiliknya tidak jelas. Hammad pun menyerahkan barang-barang titipan itu kepada hakim. Hakim berujar kepadanya: “Biarlah tetap bersamamu, engkau pantas menjaganya.”. “Tolong barang-barang itu dicatat dan ditimbang, lalu simpanlah barang-barang itu sampai pemiliknya memintanya, setelah itu perbuatlah apa yang engkau mau !” Minta Hammad. Sang hakimpun menuruti permintaannya mencatat dan menimbang barang-barang titipan itu. Namun barang-barang itu tetap saja berada di gudang simpanan selama berhari-hari lamanya, sedang Hammad bersembunyi. Dia tidak menampakkan diri sampai sang hakim menyimpan barang-barang itu pada orang lain yang dapat dipercaya. Kisah Wara’ Wuhib bin al-Warad -semoga Allah merahmatinya- Ali bin Abu Bakar berkata: “Wuhib bin al-Warad berhasrat ingin minum susu. Maka bibinya mengambilkannya dari kambing milik Isa bin Musa. Wuhib pun menanyakan dari mana didapatkan susu tersebut. Bibinya menyampaikan dari mana dia mengambilnya. Tahu susu itu dari milik orang lain Wuhib menolak meminumnya. Bibinya berkata: “Minumlah!” Tetapi dia tetap menolak sehingga bibinya membujuk dengan berkata: “Aku berharap jika engkau meminumnya Allah akan mengampunimu” (maksudnya karena dia minum bukan keinginannya tetapi karena permintaan bibinya) “Aku tidak suka meminumnya lalu Allah mengampuniku.” Tegas Wuhib. “Kenapa?” Tanya bibinya. “Aku tidak ingin mendapatkan pengampunan-Nya dengan bermaksiat kepadanya.” Kisah Wara’ Abu bakar bin Iyasy -semoga Allah merahmatinya- Yahya bin Sa’id berkata: “Aku menemani Abu Bakar bin Iyasy pergi ke Mekkah. Belum pernah aku temui orang yang lebih wara daripadanya. Seseorang memberinya rutob (buah kurma yang masih mengkal). Tetapi kemudian dia tahu bahwa rutob yang diberikan kepadanya itu didapat dari mencuri hasil kebun milik Khalid bin Salamah al-Makhzumiy. Diapun mendatangi Khalid untuk minta dihalalkan dan bersedekah senilai harga rutob itu. Kisah Wara’ Zakariya bin Adiy -semoga Allah merahmatinya- Abu Yahya So’iqoh berkata: “Ketika Zakariya bin Adiy datang, orang-orang di tempat yang ia kunjungi memintanya untuk bekerja di kampung mereka dengan upah (yang sangat tinggi, red) 30 dirham. Setelah satu bulan bekerja dia memilih pulang seraya berkata: “Aku merasa bahwa pekerjaanku tidak sesuai dengan kadar upahku.” Kisah Wara’ Abu Ishak as-Syairoziy -semoga Allah merahmatinya- As-Sam’aniy berkata: “Suatu hari Abu Ishak masuk masjid untuk makan siang, tetapi tanpa disadari uang dinarnya tertinggal. Ketika ingat dia kembali dan mendapatkan uang tersebut. Namun kemudian dia berfikir dan berujar: “Mungkin ini milik orang lain yang juga tertinggal.” Diapun urung mengambilnya. Kisah Wara’ dua orang lelaki dari kalangan Tabi’in -semoga Allah merahmatinya- Dari Abu Bakar bin Iyasy, dari Hushain, dari Sya’bi, katanya: “Datang dua orang laki-laki kepada Syuraih. Salah seorang dari keduanya berkata: “Aku membeli sebuah bangunan dan aku dapati 100 ribu dirham di dalamnya.” Si penjual meminta si pembeli untuk mengambilnya, tetapi si pembeli menolak. “Kenapa aku harus mengambilnya?! yang aku beli hanyalah bangunannya. Justru engkaulah yang harus mengambilnya!” Tolak si pembeli. “Kenapa harus aku yang mengambil, aku telah menjual bangunan itu beserta apa yang ada di dalamnya.” Tegas si penjual. Terjadilah saling tolak di antara keduanya. Maka Syuraihpun menemui Ziyad dan mengabarkan perselisihan keduanya. “Aku tidak menyangka bahwa orang-orang seperti ini masih ada.” Ujarnya. Syuraih berkata: “Masukkan kebaitul mal dan jadikan pada setiap kantong kadar genggaman untuk dibagikan kepada kaum muslimin. Kemudian berkata kepada Sya’bi: “Bagaimana reaksi Amir (gubernur) dengan kejadian ini?” “Ia takjub dengan apa yang berlangsung” Jawab Abu Bakar bin Iyasy. . Penutup Kisah-kisah yang menarik ini hanyalah sekelumit dari kisah-kisah yang ada dalam kitab-kitab biografi dan sejarah. Tidak ada maksud untuk merinci maupun berpanjang lebar. Yang terpenting mampu mengisyaratkan kisah-kisah keteladanan mereka agar menjadi obor dan mercusuar perjalanan hidup kita di zaman kini yang penuh kecurangan dalam perdagangan dan perjanjian, korupsi, menganggap sepele bila hanya mengambil sedikit hak orang lain, menggunakan fasilitas umum/kantor/pemerintah untuk kepentingan pribadi, menganggap lumrah korupsi kecil-kecilan atau pencurian kecil, merubah berat timbangan saat transaksi jual-beli, dan banyak lagi.(1) Hendaknya kita mulai introspeksi sejak hari ini, apakah kita masih berani menggunakan fasilitas telpon kantor untuk menelpon ke rumah, atau memasang lampu penerangan jalan untuk umum dengan mengambil listrik PLN tanpa izin, membiarkan ranting tanaman di depan rumah kita tumbuh liar hingga menghalangi /mempersulit kendaraan yang lewat, mencicipi sedikit buah di supermarket tanpa izin, tawar-menawar barang secara ketat hingga membuat salah satu pihak merasa terpaksa membeli atau menjual, atau masih berani menjadi pegawai kantor pajak yang setiap hari mengambil pajak yang tak lain adalah sebagian dari hak milik umat Islam, atau masih berani menjadi pegawai kantor Bank atau Asuransi yang setiap harinya melakukan kegiatan riba’ yang diharamkan dalam agama kita. Dan masih banyak lagi yang harus kita perbaiki dari diri kita semua, termasuk diri saya sendiri. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang menganggap remeh dosa-dosa kecil, sehingga terhindar golongan pendurhaka, sebagaimana disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang yang beriman akan melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka (tidak taat pada Allah) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308) Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita, yang disengaja atau tak disengaja, yang kita ketahui atau tidak kita ketahui, yang kita anggap kecil apalagi besar, yang kita anggap tidak berdosa karena kebodohan kita atau karena sikap kita yang meremehkan dosa-dosa kecil. Ampuni kami ya Allah… Sumber Pustaka : (1) Sifat Wara’, Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram, oleh Ahmad bin Ali Soleh, Terjemah : Syafar Abu Difa, Editor : Eko Abu Ziyad, www.islamhouse.com (Diringkas oleh redaksi blog ini tanpa merubah isi dan maksud, dengan tujuan untuk mempermudah pembaca menangkap intisarinya. Bersumber dari www.islamhouse.com/d/files/id/ih_books/…/id_Wara_Kaum_Salaf.doc )

Kisah teladan Atha' Bin Abi Robah dalam mencari Ilmu

“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail. Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar. Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata, “Di mana sahabatmu?.” Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut. Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata, “Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya. Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ. Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya. Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam. Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya. Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i. Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru, “Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih. Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata, “Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.” Maka Sulaiman berkata kepada putranya, “Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.” Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya, “Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.” Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni. Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.” Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya. Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.” ‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat: Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna. Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan. Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.” Mereka berkata, “Baik.” Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10) Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18). Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.” Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya. Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?” Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat. Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi. Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini? Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya. Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham. Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya. Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun. Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.” Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad? ‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.” Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya. Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.” “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109) Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun. Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa. Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah. Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah. Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya. Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya. Referensi: 1- Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa’d: 2/386. 2- Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim: 3/310. 3- Sifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 2/211. 4- Ghuraru Al-Khashaish: 117. 5- Wafayat Al-A’yan, oleh Ibnu Khalkan: 3/261 6- Thabaqat Asy-Syairazi: lembar ke 17. 7- Nukatu Al-Hamya: 199. 8- Mizanu Al-I’tidal: 2/197 9- Tadzkiratu Al-Huffadz: 1/92. 10- Tahdzib At-Tahdzib: 7/199. 11- Nuzhatu Al-Khawathir: 1/85.

Kisah teladan Abu Nawas ketika akan disembelih

Hari itu Abu Nawas sengaja menghabiskan waktunya berkeliling kampung, pinggiran Kota Baghdad. Ia baru pulang saat menjelang maghrib. Ketika lewat Kampung Badui (orang gurun) ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang memasak bubur. Suasananya ramai, bahkan riuh rendah. Tanpa disadari ia di tangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih. “Mengapa aku ditangkap?” tanya Abu Nawas. “Hai, orang muda, kata salah seorang diantaranya sambil menunjuk ke belanga yang airnya sedang mendidih, “Setiap orang yang lewat di sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan dimasukkan ke belanga bersama adonan tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan kami sehari-hari.” Meski ketakutan Abu Nawas masih berpikir jernih, katanya, “Lihat saja, badanku kurus, jadi dagingku tidak seberapa, kalau kau mau besok aku bawakan temanku yang badannya gemuk, bisa kau makan untuk lima hari. Aku janji, maka tolong lepaskan aku.” “Baiklah, bawalah orang itu kemari,” jawab si Badui. “Besok waktu maghrib orang itu pasti kubawa kemari,” kata Abu Nawas lagi. Setelah saling bersalaman sebagai tanda janji, Abu Nawas pun di lepas. Di sepanjang jalan menuju rumahnya, Abu Nawas berpikir keras, “Sultan itu kerjanya seharian hanya duduk-duduk sehingga tidak tahu keadaan rakyat yang sebenarnya. Banyak orang jahat berbuat keji, menyembelih orang seperti kambing, tidak sampai ke telinga Sultan. Aneh, kalau begitu. Biar kubawa Sultan ke kampung Badui, dan kuserahkan kepada tukang bubur itu.” Lantas Abu Nawas masuk ke istana dan menghadap Sultan. Setelah memberi hormat dengan membungkukkan badan, ia berkata, ya tuanku, Syah Alam, jika tuanku ingin melihat tempat yang sangat ramai, bolehlah hamba mengantar kesana. Di sana ada pertunjukan yang banyak dikunjungi orang.” “Kapan pertunjukan itu dimulai?” tanya sang Sultan. “Lepas waktu ashar, tuanku,” jawab Abu Nawas. “Baiklah.” Abu Nawas pamit pulang, esok sore Abu Nawas siap menemani Sultan ke kampung Badui. Sesampainya di rumah penjual bubur, baginda mendengar suara ramai yang aneh baginya. “Bunyi apakah itu, kok ramai sekali?” tanya baginda sambil menunjuk sebuah rumah. “Ya tuanku, hamba juga tidak tahu, maka izinkanlah hamba menengok ke rumah itu, sebaiknya tuan menunggu di sini dulu.” Kata Abu Nawas. Sesampainya di rumah itu Abu Nawas melapor kepada si pemilik rumah bahwa ia telah memenuhi janjinya membawa seseorang yang berbadan gemuk. “Ia sekarang berada di luar dan akan aku serahkan kepadamu.” Ia kemudian keluar bersama si pemilik rumah menemui Sultan. “Bunyi apa yang riuh rendah itu?” tanya Sultan. “Rumah itu tempat orang berjualan bubur, mungkin rasanya sangat lezat sehingga larisnya bukan main dan pembelinya sangat banyak. Mereka saling tidak sabar sehingga riuh rendah bunyinya,” kata Abu Nawas. Sementara itu si pemilik rumah tadi tanpa banyak cingcong segera menangkap Sultan dang membawanya ke dalam rumah. Abu Nawas juga segera angkat kaki seribu. Dalam hati ia berpikir, “Jika Sultan itu pintar, niscaya ia bisa membebaskan diri. Tapi kalau bodoh, matilah ia disembelih orang jahat itu.” Akan halnya baginda Sultan, ia tidak menyangka akan dipotong lehernya. Dengan nada ketakutan Sultan berkata, “Jika membuat bubur, dagingku tidak banyak, karena dagingku banyak lemaknya, lebih baik aku membuat peci. Sehari aku bisa membuat dua buah peci yang harganya pasti jauh lebih besar dari harga buburmu itu?” Seringgit” jawab orang itu. “Seringgit?” tanya Sultan. “Hanya seringgit? Jadi kalau aku kamu sembelih, kamu hanya dapat uang seringgit? Padahal kalau aku membuat kopiah, engkau akan mendapat uang dua ringgit, lebih dari cukup untuk memberi makan anak-istrimu.” Demi mendengar kata-kata Sultan seperti itu, dilepaskannya tangan Sultan, dan tidak jadi disembelih. *** Sementara itu Kota Bagdad menjadi gempar karena Sultan sudah beberapa hari tidak muncul di Balairung. Sultan hilang, seluruh warga digerakkan untuk mencari Sultan ke segenap penjuru negeri. Setelah hampir sebulan, orang mendapat kabar bahwa Sultan Harun Al-Rasyid ada di kampung Badui penjual bubur. Setiap hari kerjanya membuat Peci dan si penjualnya mendapat banyak untung. Terkuaknya misteri hilangnya Sultan itu adalah berkat sebuah peci mewah yang dihiasi dengan bunga , di dalam bunga itu menyusun huruf sedemikian rupa sehingga menjadi surat singkat berisi pesan: “Hai menteriku, belilah kopiah ini berapapun harganya, malam nanti datanglah ke kampung Badui penjual bubur, aku dipenjara di situ, bawalah pengawal secukupnya.” Peci itu kemudian diberikan kepada tukang bubur dan agar dijual kepada menteri laksamana, karena kopiah ini pakaian manteri.”Harganya sepuluh ringgit, niscaya dibeli oleh menteri itu,” pesannya. Tukang bubur itu sangat senang hatinya, maka segeralah ia pergi kerumah menteri tersebut. Pak menteri juga langsung terpikat hatinya begitu melihat peci yang ditawarkan itu, memang bagus buatannya, apalagi dihiasi dengan bunga diatasnya. Namun ia kaget begitu mendengar harganya sepuluh ringgit, tidak boleh kurang. Dan ketika matanya menatap bunga itu tampaklah susunan huruf. Setelah dia baca, mengertilah dia maksud kopiah itu dan segera dibayarnya. Malamnya menteri dengan pengawal dan seluruh rakyat mendatangi kampung Badui dan segera membebaskan Sultan dan membawanya ke Istana. sedangkan penghuni kampung Badui itu, atas perintah Sultan, dibunuh semuanya karena perbuatannya terlalu jahat. Keesokan harinya Sultan memerintahkan menangkap Abu Nawas dan akan menghukumnya karena telah mempermalukan Baginda Sultan. Ketika itu Abu Nawas sedang shalat duhur. Setelah salam iapun ditangkap beramai-ramai oleh para menteri yang diutus kesana dan membawanya pergi ke hadapan sultan. Begitu melihat Abu Nawas, wajah Sultan berubah garang, matanya menyala seperti bara api, beliau marah besar. Dengan mulut mnyeringai beliau berkata, “Hai, Abu Nawas, kamu benar-benar telah mempermalukan aku, perbuatanmu sungguh tidak pantas, dan kamu harus dibunuh. Maka, Abu Nawas pun menghormat. “Ya tuanku, Syah Alam, sebelum tuanku menjatuhkan hukuman, perkenankan hamba menyampaikan beberapa hal.” “Baiklah” kata Sultan, “Tetapi kalau ucapanmu salah, niscaya aku bunuh hari ini juga kamu.” “Ya Tuanku Syah Alam, alasan hamba menyerahkan paduka kepada si penjual bubur itu adalah ingin menunjukkan kenyataan di dalam masyarakat negeri ini kepada paduka. Karena hamba tidak yakin paduka akan percaya dengan laporan hamba. Padahal semua kejadian yang berlaku di dalam negeri ini adalah tanggung jawab baginda kepada Allah kelak. Raja yang adil sebaiknya mengetahui semua perbuatan rakyatnya, untuk itu setiap Raja hendaknya berjalan-jalan menyaksikan hal ihwal mereka itu. Demikianlah tuanku, jika perkataan hamba ini salah, hukumlah hamba, tetapi bila hukuman itu dilaksanakan juga hamba tidak ikhlas, sehingga dosanya menjadi tanggung jawab tuanku di dalam neraka.” Setelah mendengar ucapan Abu Nawas, hilanglah amarah baginda. Dalam hati beliau membenarkan seluruh ucapan Abu Nawas itu. “Baiklah, kuampuni kamu atas segala perbuatanmu, dan jangan melakukan perbuatan seperti itu lagi kepadaku.” Maka, Abu Nawas pun menghaturkan hormat serta mohon diri pulang ke rumah.

Kisah Teladah sahabat Nabi : Abdurrohman Bin Auf

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang mula-mula masuk Islam. Ia juga tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga dan termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama beliau masih hidup. Pada masa Jahiliyah, ia dikenal dengan nama Abd Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq memeluk Islam. Seperti kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys. Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat diizinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi Al-Anshari. Sa'ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, "Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!" Sa'ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Saya ingin menikah, ya Rasulullah," katanya. "Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?" tanya Rasul SAW. "Emas seberat biji kurma," jawabnya. Rasulullah bersabda, "Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu." Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah kepadanya sampai ia dijuluki 'Sahabat Bertangan Emas'. Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka'ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi SAW. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah, "Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya." Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, "Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?" "Ya," jawabnya. "Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan." "Berapa?" tanya Rasulullah. "Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah." Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan inilah Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah terlambat datang. Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad SAW. Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian. Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah ra disampaikan kepadanya, ia bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?" "Abdurrahman bin Auf," jawab si petugas. Aisyah berkata, "Rasulullah pernah bersabda, 'Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar." Begitulah, doa Rasulullah bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju. Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa. Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu."

KISAH KESETIAAN SEORANG ISTRI NABI AYYUB a.s

Wanita ( istri ) yang sholihah merupakan sebaik-baik dan semulia-mulia gelar yang diberikan kepada wanita kekasih Alloh. Seorang wanita, secara kodrat akan menjadi seorang istri. Seorang istri yang sholehah, memiliki sifat-sifat diantaranya penuh dengan kasih sayang, melayani suami, menjaga rahasia-rahasia suami, pandai mensyukuri segala pemberian dan kebaikan dari suami, dll. Ada kisah yang menggambarkan kesetiaan seorang istri, adalah kisah Nabi Ayub as. Pada suatu hari, seluruh malaikat berkumpul membicarakan mahluk Alloh, mengenai ketaatan manusia dan maksiatnya, keburukan manusia dan kebaikannya. Akhirnya semua Malaikat itu memutuskan dengan sebulat suara bahwa Nabi Ayub lah di kala itu manusia yang paling baik di atas dunia, yang paling banyak ibadahnya kepada Alloh dan yang paling tinggi keimanan dalam dadanya. Dengan harta kekayaan yang banyak, anak keturunan yang banyak pula dia tidak pernah sekali pun terlambat beribadah dan bersujud kepada Alloh. Mendengar keputusan Malaikat itu, iblis ingin menjalankan siasat kotornya. Iblis tak sudi kalau ada manusia di muka bumi ini tebal imannya kepada Alloh, sempurna ibadah dan syukurnya. Iblis pun menghadap ke hadirat Alloh, lalu berkata" Ya, Tuhan! hamba Mu yang bernama Ayub itu bukan lah beribadah menyembah Engkau, bukan bersyukur memuji Engkau. Ibadah dan syukurnya itu hanya karena hartanya yang banyak, keturunannya yang cukup. Dia menyembah Engkau itu hanya agar Engkau menambah harta dan keturunannya." Iblis pun meminta restu Alloh agar diijinkan untuk merampas semua yang dimiliki Nabi Ayub, harta maupun keturunan nya. Dan Alloh pun mengijinkan Iblis untuk melenyapkan semua kenikmatan yang dimiliki Ayub, mulai dari menghancurkan semua hartanya, membunuh semua keturunan nya. Selain itu, iblis juga meniupkan kepada nabi ayub semacam penyakit yang berbahaya, yang membuat nabi ayub sakit, terhampar di tampat pembaringannya. Semakin hari penyakit itu semakin parah, dan tubuh nabi semakin kurus, dan semakin tidak berdaya. Bertahun-tahun dalam kesakitan nya, tubuh nabi Ayub semakin memperihatinkan. kawan-kawan nya mulai meninggalkan dia, semua orang menjauhi dia, kecuali yang tersisa hanya tinggal sang istri seorang, yang bernama Rahmah. Istri yang setia itu dengan tak kenal penat, melayani Nabi Ayub yang sedang sakit dengan segala kasih sayang dan susah-payah nya. Segala penyakit yang diderita Nabi Ayub seakan-akan dia sendiri ikut menderita nya pula. Nabi Ayub dihibur dan diladeni nya, hal mana menunjukkan keimanan seorang istri yang kuat dan teguh, yang tidak kalah pula dengan keimanan suaminya sendiri. Mereka berdua mengalami penghinaan dari orang-orang sekitar tempat tinggal mereka, hingga mereka diusir dari kampung tempat mereka tinggal. Padahal kondisi Nabi Ayub sedang tidak bisa apa-apa, dan dengan segenap tenaga yang ada, istri yang setia itu memangku dan menggendongnya dibawa ke luar kampung dan tinggal di sebuah pondok yang tidak berpenghuni. Di sanalah Nabi Ayub dan istri nya menganggungkan derita lahir dan batin, dengan penuh kesabaran dan keimanan yang tidak pernah berkurangan. Untuk penghidupannya, rahmah terpaksa bekerja memotong-motong roti pada seorang pedagan roti. Setiap petang dia pulang mendapatkan suaminya, dengan membawa beberapa potong roti yang dihadiahkan orang kepadanya. Tetapi setelah orang ramai tahu, bahwa rahmah itu adalah istri Nabi Ayub, maka pedagang roti itupun tidak membenarkannya bekerja lagi sebagai tukang potong roti. Dalam ketidakpunyaan, rahmah tetap berjuang mencari pekerjaan untuk penghidupan mereka. Setiap hari rahmah pulang dan membawa sepotong roti dan air minum. Lama kelamaan Nabi Ayub curiga darimana sepotong roti itu berasal. Setelah ditanya, ternyata rahmah memperoleh uang untuk membeli makanan dengan cara menjual rambut nya yang indah, hingga gundul sama sekali. Seketika itu Nabi Ayub menangis melihat kondisi istrinya seperti itu. Kemudian berkatalah rahmah,"Janganlah engkau menangisi rambutku yang sudah hilang. Ketahuilah bahwa rambut itu akan tumbuh kembali dan mungkin akan lebih indah dari yang sudah hilang itu." Demikianlah katanya menghibur suaminya. Dan sampai pada akhirnya karena keimanan Nabi Ayub yang sangat kuat, dan kesabaran yang luar biasa dilmilikinya, Nabi Ayub kembali memiliki apa yang pernah ia miliki sebelum mendapat cobaan dari Alloh. Harta benda nya kembali, dan keluarga nya juga kembali, bahkan mereka kini lebih bahagia dari sebelumnya.